Sabtu, 21 November 2009

temani Q Dion???

          Abita gadis manis yang punya cowok bernama Dion. Dia sayang banget sama Dion tapa sayangnya takdir berkata lain. Mereka tak bisa menyatukan cinta mereka karena takdir tak membela. Abita sempat berfikir ia tak sangggup hidup dengan keadaan ini

Kamis, 21 Mei 2009

Ketika ku lihat kau

Malam begitu sepi
Dingin menyelimuti hati
Dimana kau kini
Ku ingin melihatmu lagi
Namun tak bisa ku ingkari
Kau telah pergi
Kini ku sendiri
Menanti hari sepi tanpamu
Saat ingin ku sulam wajahmu dalam ingatanku
Yang hanya tebayang wajahmu
Namun tak bisa ku ingkari kau takbersamaku lagi
Dan ku iringi pergimu degan doa
Yang takan pernah putus dari bibirku
Buah Naga Punya Banyak Khasiat

BUAH naga (Dragon Fruit) mungkin masih awam didengar di telinga masyarakat, karena pada tahun 2001 buah ini hanya ada di Israel, Australia, Thailand dan Vietnam, tetapi sekarang sudah mulai merambah pasaran Indonesia.Buah ini sekarang mulai tersedia di toko buah dan pasar swalayan dan sejumlah perkebunan melirik komoditas ini lantaran budidayanya mudah dan prospek ke depan cerah dibanding buah lainnya.

Saat ini Thailand dan Vietnam merupakan pemasok buah terbesar dunia, tetapi permintaan yang dapat dipenuhi masih kurang dari 50 persen.
Pasar lokal saat ini dibanjiri produk ekspor berdasarkan catatan dari eksportir buah di Indonesia, buah naga ini masuk ke tanah air mencapai antara 200 400 ton/tahun asal Thailand dan Vietnam.
“Buah naga yang masuk ke Indonesia bahkan hampir setiap tahunnya mengalami peningkatan, akan tetapi buah naga lokal tetap diminati oleh pasar, selain itu prospek pasar ekspor pun dianggap cukup menggiurkan,” kata Djoko Raino Sigit,M.Si yang sekarang juga merintis mengembangkan tanaman buah naga di Malang, Jawa Timur dan Delanggu, Jawa Tengah.
Jenis buah naga ada empat macam, pertama buah naga daging putih (Hylocereus undatus), buah naga daging merah (Hylocereus polyrhizus), buah naga daging super merah (Hylocereus costaricensis) dan buah naga kulit kuning daging putih (Selenicerius megalanthus).
Buah naga yang berasal dari jenis tanaman rumpun kaltes ini berasal dari Israel, dan terus dikembangkan di Australia, Thailand dan Vietnam.
“Saya melihat tanaman ini pertama di Israel, dan waktu itu ada teman dari Thailand pulang membawa bibitnya dan terus dikembangkan di negaranya sendiri sampai sekarang,” kata Djoko Raino Sigit yang juga sarjana biologi Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS).
Setelah tahun 1997 Djoko Raino Sigit datang ke Thailand dan melihat tanaman buah naga yang bibitnya pernah dibawa dari Israel itu bisa berkembang baik.
Membawa diamdiam
Mahasiswa asal Thailand yang kuliah di luar negeri biasanya setiap pulang diwajibkan membawa tanaman yang di negaranya tidak ada dan tanamantanaman yang ada itu juga sulit untuk bisa dibawa keluar.
“Untuk mendapatkan bibit buah naga dari Thailand ini juga perlu perjuangan yang panjang, tidak semudah di Indonesia bibit tanaman apa saja sepertinya dibiarkan saja dibawa orang keluar negeri,” ujarnya.
Dia baru berhasil mendapatkan bibit buah naga tersebut setelah melakukan kerjasama dengan teman yang ada di Kedutaan Indonesia di Bangkok.
“Waktu itu saya bisa membawa pulang satu koper bibit buah naga berbentuk stekan pohonnya dan setelah tiba dirumah terus dicoba ditanam dan dikembangkan sampai sekarang,” ujarnya.
Bibit yang dibawa pulang ke tanah air itu jenis buah naga daging putih seperti dikembangkan di Thailand dan Vietnam.
Buah naga daging putih kulitnya merah dan sangat kontras dengan daging putih yang ada di dalamnya. Di dalam daging itu bertebaran bijihbijih hitam. Jenis ini banyak dijumpai di pasar lokal maupun mancanegara, bobot rataratanya 400500 gram.
Buah jenis ini bercitarasa manis bercampur masam segar, mempunyai sisik atau jumbai kehijauan di sisi luar, serta kadar kemanisannya tergolong rendah dibandingkan buah naga jenis lain, yakni 1013 briks.
Untuk mengembangkan tanaman buah naga ini, sampai sekarang (sudah tujuh tahun) Djoko Raino Sigit yang juga lulusan S2 teknik lingkungan UNS itu mengaku dibantu istrinya, Ny Endang Susilowati, SPd.
Dalam mengembangkan tanaman buah naga ini memang perlu ketekunan dan kesabaran, karena untuk merawat jenis tanaman ini memerlukan perlakuan tersendiri.
Dalam usahanya yang tanpa kenal menyerah dan putus asa dari bibit berbentuk stek satu koper itu dalam jangka waktu tujuh tahun ini telah bisa dikembangkan menjadi kebun buah naga seluas 17 hektare di Desa Purwodadi, Kabupaten Malang, Jawa Timur, dan ratusan tanaman buah naga di dekat rumah sebagai kebun percontohan di Delanggu, Klaten, Jawa Tengah.
Tanaman buah naga yang berada di Desa Purwodadi dan di dekat rumah sekarang ini sudah berbuah, bahkan diperkirakan pertengahan Januari akan terjadi panen raya.
Tiap pohon umur satu tahun minimal bisa menghasilkan buah tiga kilogram, sementara harga dijual di tempat Rp27 ribu/kilogram, dan kalau sudah sampai toko buah atau pasar swalayan antara Rp35 ribu sampai Rp40 ribu/kilogram.
Tanaman buah naga yang dikembangkan ini satu tahun bisa berbuah tiga kali, dan produksinya bisa terus meningkat, asalkan dirawat dengan baik dan tidak tercemar udara dari perusahaan dan lahan seluas satu hektar bisa ditanami 6.000 pohon, katanya.
Buah naga yang sangat cocok ditanam di lahan kering, dan dalam sekali tanam usianya bisa bertahan sampai 20 tahun.
Buah naga selain mempunyai nilai ekonomis tinggi, juga memiliki khasiat bagi kesehatan manusia, di antaranya sebagai penyeimbang kadar gula darah, pencegah kanker, pelindung kesehatan mulut, pengurang kolestrol, pencegah pendarahan, dan obat keluhan keputihan.
Pada umumnya, buah naga dikonsumsi dalam bentuk buah segar sebagai penghilang dahaga, hal ini karena kandungan airnya yang sangat tinggi (90,2 persen) dari berat buah, serta rasanya cukup manis karena kadar gulanya mencapai 1318 briks.
Petani melirik
Hingga kini sudah cukup banyak petani yang melirik jenis tanaman buah ini, dan bahkan dari kalangan lembaga perguruan tinggi juga sudah banyak yang meminta dikirimi bibitnya untuk bahan penelitian.
“Hampir setiap hari libur ada petani secara rombongan yang datang ke sini dan terakhir Rabu (15/12) yang datang petani dari Banjarnegara satu bus untuk melihat kebun percontohan buah naga ini,” ujar Ny.Endang Susilowati SPd.
Djoko Raino Sigit mengatakan dari permintaan bibit yang telah dikirim itu kepada IPB dan saat ini sedang ditanam untuk dipelajari perlakuan buah naga ini.
Dia mengakui permintaan akan bibit itu cukup banyak, tetapi belum bisa dilayani semuanya, dan beberapa waktu lalu dari Malaysia juga minta satu kontiner untuk dikirim.
“Permintaan bibit satu kontiner dari Malaysia itu saya tolak, karena ini bukan citacita saya, memang saya juga butuh uang, tetapi saya akan lebih bangga kalau bisa menyejahterakan bangsa kita sendiri,” ujarnya.
Pengusaha perkebunan asal Malaysia itu pertengahan Januari 2005, akan datang ke sini untuk melihat kebun buah naga itu. “Silahkan anda datang ke sini melihat kebun buah naga saya, tetapi dengan catatan anda tidak boleh membawa pulang ke negara anda,” ujarnya.
Djoko Raino Sigit yang mempunyai obsesi mengangkat derajat kaum petani itu meminta kepada pemerintah untuk memberikan perlindungan kepada tanamantanaman yang ada di Indonesia dan agar dicegah apabila dibawa keluar negeri.
Tulisan ini dikirim pada pada Kamis, Januari 31st, 2008 7:35 am dan di isikan dibawah tanaman obat. Anda dapat meneruskan melihat respon dari tulisan ini melalui RSS 2.0 feed. Anda dapat merespon, or trackback dari website anda. 
4 Tanggapan ke “Buah Naga Punya Banyak Khasiat” 
1. anna farida Berkata: 
Nopember 3, 2008 pukul 7:19 am 
coba ada cara yg asik menikmati buah naga. Dibikin enak dinikmati seperti durian gitu….Kalau ingat khasiatnya memang layak dimakan. Tapi rasanya perlu perjuangan untuk menghabiskan suapan demi suapannya. Hehe…thx postingnya.
2. tika Berkata: 
Nopember 29, 2008 pukul 6:04 am 
siapa bilang buah naga ga enak?? tika suka, p lagie pas tau byk khasiatnya… jadi berasa untung bgd (lebay ga sih)… tapi sumpah buah naga enak bgd pa lgie yg merah tp emg lo blom mateng bgd agak asem makanya tunggu mpe mateng n petik ndiri z…
papa tika py kebonnya di pantai TRISIK Yogya, dateng z… da diskon de… dijamin alami dari buah mpe pemandangannya…
3. bongski Berkata: 
Februari 25, 2009 pukul 3:16 pm 
wih.. buah naga mah enak banget lol.. apa lagi yg merah yesh yesh.. lol pingin deh berkebon buah naga? susah ga? iklimnya harus gimana? sayang kalo busuk.. tpi by the time punya uang, buah naga udah ga jaman lagi
4. wiwik Berkata: 
Maret 6, 2009 pukul 7:32 am 
sehat kok buah naga itu…..

Kamis, 07 Mei 2009

Mimpi Terindah Sebelum Mati

Cerpen Maya Wulan

RAMADHANI, sekalipun sedang sekarat, aku masih ingat dengan ucapanku pada suatu kali. Di satuan waktu yang lain, berkali-kali kukatakan kelak aku akan lebih dulu pergi darimu. "Mati muda," kataku datar. Dan kau selalu saja mengunci mulutku dengan cara mencium bibirku. Memutus kata-kataku yang menurutmu tidak pantas. Hanya saja pada satu waktu, sebelum akhirnya kita harus berpisah untuk meluncur dihembuskan ke perut bumi, kau sempat menampar pipi kiriku ketika lagi-lagi aku mengulang kalimat tentang kematian itu. Tidak ada lagi ciuman seperti biasanya. Aku berpikir mungkin kau sudah tak bisa bersabar menghadapiku. Atau kau terlalu takut? Padahal aku sudah begitu sering bicara tentang daun yang bertuliskan namaku di ranting pohon itu. Bahwa dia, kataku, sedang menguning dan beranjak kering untuk kemudian bersegera gugur. Usianya sangat pendek, tidak akan sampai menyaingi usia kita di sana.

Tetapi kemudian kita bertemu lagi di tempat yang kita sebut kehidupan. Hanya saja situasi yang ada sangat berbeda. Kita masih seusia, tetapi tidak bisa dikatakan sebagai seorang yang dewasa. Bicara saja kita masih tidak tertata rapi. Ke sana kemari, khas bahasa anak-anak. Semua sangat berbeda dengan apa yang pernah kita lalui bersama di satuan waktu yang lampau. Sebelum kita berdua tertiupkan ke alam ini.

NAFASKU terpatah-patah. Aku merasa sangat lelah. Seperti seorang perempuan renta yang sedang menunggu masa tutup usia. Berjalan hanya dalam khayal yang sesungguhnya kedua kaki tak pernah melangkah kemana pun. Tapi aku memang belum tua. Meski juga tak bisa berlari-lari. Aku hanya terus berbaring dan berbaring. Sejak kepergian ayahku ke surga. Mataku masih menampung sekian banyak buliran bening yang belum mendapat giliran untuk tumpah. Aku terlanjur tertidur. Dan kini, aku bermimpi.

Ayahku berdiri dalam nuansa yang begitu lembut namun terkesan asing bagiku. Aku mencoba memanggilnya, tetapi suaraku tersumbat di tenggorokanku yang kering. Sudah lama sekali aku tidak minum air lewat mulutku. Hanya selang infus itu yang terus menembus tangan kananku selama ini. Ayahku begitu sunyi, seolah tak melihat kehadiranku di sini. Barangkali debur rindu di dadaku yang membuncah tak cukup keras untuk menjadi tanda keinginanku bertemu dengannya?

Aku melihat lagi gambaran ketika ayahku meninggalkanku dan ibuku. "Ayah harus ke luar negeri," kata ibuku padaku suatu malam.

"Untuk apa?" tanyaku.
"Untuk bekerja," sahut ayahku. "Ayah janji tidak akan pergi lama. Kau bisa menandai hari dengan terus mencoreti setiap penanggalan di kalender meja kerja ayah. Setiap hari. Dan tanpa kau sadari, ayah sudah akan kembali di sini."

Aku memasang wajah tak percaya, "Ayah janji?"
Ayahku mengangguk mantap. Ibuku tersenyum melihat tingkahku. Dan aku mengantarkannya ke bandara dengan berat hati.

Selanjutnya, aku disibukkan dengan mencoreti kalender milik ayahku. Tetapi ayahku pergi begitu lama. Sampai aku kelelahan menunggu dan mulai malas mencoreti kalender seperti yang pernah diminta ayah. Aku mulai menangis dan marah pada ibuku, juga semua orang. Tubuhku melemah karena aku selalu menolak makanan bahkan minuman. Aku enggan bicara, termasuk pada teman sepermainanku, Ramadhani. Sampai suatu hari ibuku mengatakan kalau ayahku tidak akan pulang lagi. "Ayah sudah terbang ke surga," katanya.

Sejak itu aku sangat membenci angka-angka. Aku benci penanggalan dan tidak mau melihat kalender terpajang di rumah. Aku benci menghitung sesuatu. Aku juga mulai suka melukai diriku sendiri. Hingga akhirnya aku jatuh sakit dan harus terbaring di rumah sakit yang bagiku baunya sangat tidak enak.

Bayangan ayahku dan nuansa lembut itu perlahan-lahan memudar. Aku mencari-cari dan menajamkan pandanganku, tetapi percuma. Di hadapanku, suasana berganti menjadi demikian putih dan rapat oleh kabut tebal yang mengeluarkan hawa dingin. Satu sosok laki-laki dewasa tampak berjalan menembus kabut menuju padaku. Tubuhnya jauh lebih tinggi dariku. Dia tersenyum dan menggandeng tanganku. Kulit tangannya terasa begitu halus di telapakku.

Sambil mengajakku untuk duduk, laki-laki itu bercerita tentang langit dan menyebut-nyebut surga. Aku teringat pada ayahku dan bertanya kepada laki-laki di sebelahku, "Apa ayahku ada di sana?"

"Benar," jawabnya.
"Di mana?"
"Di langit ke tujuh."
"Apa kita bisa ke sana?" tanyaku tak sabar.
"Kelak kita akan ke sana. Tapi, ada syaratnya."
"Apa syaratnya?" sahutku semangat.
"Kau terlebih dulu harus bisa menghitung jumlah langit itu. Kalau tidak, kau tidak akan bisa sampai ke tempat ayahmu. Karena kau akan tersesat."

"Kalau begitu lupakan! Aku tidak mau menghitung. Aku benci angka-angka!" aku berteriak.
"Di langit, kau juga bisa menghitung bintang-bintang."
"Aku tidak mau menghitung langit atau apa pun."
"Percayalah, kau akan menyukainya."
"Untuk apa aku menghitung bintang-bintang?"
"Mungkin di sana ayahmu juga sedang menghitung bintang-bintang."
"Benarkah?"

Laki-laki itu mengangguk. Aku memeluknya tanpa ragu-ragu. Suasana begitu hening mengurung kami berdua. Aku menyandarkan kepalaku ke dada laki-laki itu. Tidak ada suara apa pun di tempat ini, kecuali detak jantungku sendiri. Degup yang sudah cukup lama ini terasa sangat lemah. Aku menikmati detak jantungku yang menjelma nada indah tersendiri bagiku.

"Apa kita bisa menghitung suara ini?" kataku menunjuk bunyi jantungku.
"Ya, tentu. Hitunglah. Akan sangat menyenangkan kalau kita menghitung sesuatu yang kita sukai."
"Apa suara ini akan selalu berbunyi selamanya?"
"Tidak. Dia akan berhenti, kalau kau sudah mati."
"Mati? Pergi ke surga, seperti ayahku? Begitukah?"
"Ya."
"Kalau aku mati, apa aku bisa bertemu ayahku?"
"Tentu saja."
"Aku ingin sekali suara ini berhenti berbunyi," kataku pelan.
"Ibumu akan bersedih jika kau meninggalkannya," jawab laki-laki itu.

"Jangan beritahu ibuku kalau aku mati. Berjanjilah untuk diam. Seperti yang dilakukan ibu padaku dulu, ketika ayah meninggalkan kami."
"Bagaimana dengan temanmu, Ramadhani?"

Aku terhenyak. Ramadhani? Ah, aku melupakannya. Apa aku tega meninggalkannya begitu saja? Tapi…bukankah aku sudah mengatakan hal ini kepadanya dulu, di satuan waktu yang lain? Tentu dia akan mengerti.
Aku baru saja akan mengatakan pada laki-laki itu bahwa Ramadhani akan baik-baik saja jika harus kutinggalkan, tetapi dia telah lenyap dari pandanganku. Aku tidak lagi berada dalam pelukannya. Suasana yang putih berkabut kini berganti dengan taman yang sangat indah dan penuh bunga. Aroma wangi dari kelopak-kelopak yang bermekaran memenuhi tempat yang belum pernah sekalipun kutemui ini.
Saat itu, di kejauhan, aku kembali melihat sosok ayahku berdiri sendiri. Kali ini dia menatap ke arahku dan tersenyum. Aku membalas senyumannya dengan berjalan menujunya. Tetapi pandanganku mendadak mengabur. Aku berjalan terus sampai semuanya semakin tak terlihat olehku. Aku menghentikan langkahku dengan rasa kecewa.
Aku teringat pada teman kecilku. Ramadhani, kalau setelah ini aku harus pergi, maka semua yang kulihat barusan akan menjadi satu mimpi terindah sebelum matiku. Kataku dalam hati.

AKU lihat kau duduk di samping pembaringanku. Matamu teduh tetapi berkaca-kaca. Ruangan rumah sakit ini lebih tampak seperti kamar mayat. Dingin, sepi, dan jiwa-jiwa yang beku. Aku masih tertidur. Sesekali berteriak menyapamu, tetapi kau tak mendengarku. Mimpi yang kulihat masih tersisa dengan kaburnya. Kau takkan percaya, Ramadhani, aku bertemu ayahku dalam mimpiku.

Aku teringat dunia yang lain. Waktu kau, Ramadhani, menciumi bibirku ketika aku bicara tentang mati. Tapi kini kau tampak sedikit berbeda. Wajahmu terlihat sangat ketakutan seolah sedang menonton opera kematian. Dan, ah, Ramadhani, lihat! Ayahku datang lagi. Mimpiku jelas kembali. Dengan cepat aku menenggelamkan diri di gambaran mimpiku.

Di belakangku, ayahku merentangkan tangannya untukku. Dadaku penuh rasa rindu yang tak tertawar lagi. Dan…di arah yang berlawanan, "Hei, itu kau, Ramadhani. Kau juga di sini?" tanyaku. Tapi kau diam. Kaku. Tak lama kemudian kau memanggil namaku dengan sangat pelan. Nyaris tak terdengar olehku. Sebenarnya kau mau aku datang padamu atau tidak?

Aku tak bisa memilih. Antara ayahku dan kau, dalam mimpiku. Napasku sudah total terengah-engah. Ini melelahkan, Ramadhani. Tetapi juga menyenangkan. Pengalaman unik yang tak bisa sembarangan diceritakan. Aku yakin sekali ini jauh lebih menarik daripada menghitung langit atau bintang.

Kemudian semua terpastikan. Seseorang di atas kepalaku, menarik sesuatu dari tubuhku. Ada yang terlepas dengan begitu lekas. Sangat cepat, tetapi sempat membuatku tercekat.

Aku lupa semua mimpiku. Tiba-tiba ayahku sudah memelukku dengan eratnya. Sementara kau menangis di pelukan ibuku, di ujung pembaringanku. Dokter mencabut selang infusku. Aku berteriak untukmu, "Aku akan merindukan ciumanmu, Ramadhani." Tapi lagi-lagi kau tak dapat mendengarku, melainkan hanya terus menangis. ***